Dr. Yusuf Qardhawi On Dirhams and Dinars in Shariah

5 thoughts on “Dr. Yusuf Qardhawi On Dirhams and Dinars in Shariah”

  1. Tulisan ini paling tidak menjawab pertanyaan kami mengenai dari mana asal usul pengukuran berat 1 Dinar= 4,25 gram tapi kami belum mendapatkan referensi dari mana ketetapan kadar 1 Dinar adalah 22K, karena dalam buku Dr. Qardawi disebutkan adalah emas murni.

    Kalau boleh saya ingin membantu dalam permasalahan yg ditulis di atas:

    Banyak para sarjana yg menghafal puluhan dan beberapa di antara mereka ratusan ribu hadits, (sebagian kecil) merasa, bahwa mereka adalah yg paling dekat dg sunnah. Orang ini bingung, antara sunnah dg hadits. Faktanya adalah sunnah bukanlah hadits. Dua hal ini tidaklah sama. Karena itu anda tidak bisa begitu saja membuka kitab-kitab hadits dan menunjukkan ke orang-orang, bahwa itulah sunnah.

    Mungkin Imam yang paling dekat dg masa para sahabat, semoga Allah meridhoi mereka, adalah Imam Malik rahmatullahi alaihi. Kita tahu kalau ada hadits yg bentrok dengan sunnah penduduk madinah, maka Imam Malik lebih condong ke sunnah penduduk madinah. Tidak mungkin praktek yg dilakukan oleh mayoritas penduduk tiba-tiba berubah, kecuali ada hal luar biasa yg mendahuluinya, semisal perintah Nabi sallallahualaihi wasallam. Sementara hadits, ada banyak faktor yg perlu dipertimbangkan. Misalnya ada sahabat yg hadir ketika Nabi memerintahkan hal yg baru, dan ada pula yg tidak hadir. Karena itu hadits dari kedua sahabat ini bisa bentrok, dll.

    Lalu bagamana kita tahu sunnah di masa lampau dalam hal dinar dan dirham apabila ada jeda waktu sekitar 1400 tahun? Untungnya, koin emas adalah benda yg tahan lama, dan kita bisa mendapati koin yg masanya lebih dekat dg masa para sahabat, yaitu koin dari Khilafah Umayyah. Kita tidak bisa begitu saja menggunakan kitab kontemporer dan menggunakan hadits tersebut sebagai landasan. Salah satu yg perlu dipertimbangkan dari hadits adalah interprestasi. Contoh: emas murni pada masa lampau bukanlah emas murni seperti yg kita kenal pada hari ini. Karena itu apabila menggunakan hadits, kita bisa mempunyai interprestasi berbeda.

    Kenapa anda bersusah-payah yg pada akhirnya membuat interprestasi berbeda dari suatu hadits, kalau sunnah dinar masih tersimpan dg baik dalam bentuk koin-koin dari Khilafah Umayyah. Uji saja berat dan kadarnya dari sunnah tersebut.

    1. Mengenai fakta tentang apa itu hadist dan sunnah tentunya Khairul Anam juga sudah mengerti, tidak perlu menghakimi, mungkin yang bingung adalah anda. Tulisan Dr. Yusuf Qardhawi yang dipaparkan disini justru bukan menjadi sandaran, tapi lebih kepada referensi mistqal yang juga dia konfirmasi. Tidak sepenuhnya kami setuju tulisan beliau terutama terkait dengan uang kertas, dan disitu secara bijak dia mengaku tidak meneliti secara langsung berat mithqal kepada satuan gram, sebuah kejujuran kami hargai terlepas Dr. Qardawi, terlepas dari dia melaksanakan atau tidak.

      Silahkan kalau anda memang mengikuti Imam Malik tunjukanlah diri anda dan keluarga anda sekalian mengamalkannya, jangan hanya pandai mengecam orang lain seolah anda lebih paham urusan ini dan karena ini bukan hanya urusan dinar dan dirham, artinya kalau anda berbicara Imam Malik artinya mengerti dan melaksanakan keseluruhan fikih dalam qira’at dalam shalat, rukun shalatnya, rukun wudhu, adzan madinah, dan lain-lain sesuai madhab maliki, yang dibuktikan bukan dengan menulis, tapi dengan mengamalkannya dalam batas-batas adab, kami menghormati 4 Imam Madhab, begitupula kami dan saudara Khairul Anam. Islam tidak lain adalah adab lahir dan batin, Dien Islam bukan hanya urusan dinar dirham Islam.

      Mengenai kemurnian kita tentu mengambil yang terbaik hari ini yang dikenal dengan Emas Murni 24K, teknologi emas sudah dikenal sejak masa nabi Adam as (baca Tinjauan Sejarah, Penelitian dan Kajian Fikih dari IMN). Silahkan saja kemukakan referensi anda yang akurat bahwa emas pada masa lampau kemurniaannya tidak seperti yang anda maksud hari ini, mungkin makin bisa melengkapi kepada kebenaran. Kami juga temukan referensi bahwa pada masa lampau bahwa emas sudah bisa dimurnikan dalam pengertian sekarang. Mengenai berat koin silahkan juga lihat buku Coinage Of Islam untuk menambah wawasan, karena koin-koin tersebut masih tersimpan dengan baik juga.

      Tidak perlu marah atau merasa sudah benar sendiri, kalaupun ada sekelompok pemuda muslim yang meneliti baik sejarah Kajian Sejarah, Keilmuan Logam, Fikih, Hadist sesuai sumber Al Quran dan Sunnah dengan tatacara yang anda sebutkan, seharusnya anda bersyukur, dimana dalam Islamic Mint Nusantara disitu berkumpul orang-orang yang mencari kebaikan dan keridhaan Allah. Islam adalah jalan cinta yang murni.

  2. yang menarik dari pemaparan tulisan Dr. Qardawi yang dikirim saudara Khairul Anam adalah:

    ‘Abd al Rahman Fahmy, secretary of the Islamic Art Museum in Cairo, after a thorough examination of the tools used for minting, and many historical coins, comes up with the estimation that a dirham equals 3.104 grams of silver in his book on coin minting in the early ages of Islam. Ibn ‘Abidin, after narrating several views of the Hanafites, comes up with a conclusion that it is very difficult to find an agreement on the exact weights of dirhams and dinars. A more recent researcher, using al Maqrizi’s writings and comparing Greek and Islamic weights for the dirham and dinar, concludes that the dirham should be 3.12 grams of silver, which is close to Fahmy’s figure.

    Berat Dirham dengan berat 3.104 gram di Islamic Art Museum dan Dirham dengan berat 3.12 gram, artinya kalau dimasukan kerumus berat dinar dirham 7/10, bisa dihitung langsung berapa berat Dinar (emas murni).

  3. Kepada Mas Anam terimakasih atas kiriman tulisan yang diambil dari Dr. Qardawi ini, yang akan menambah referensi bagi muslim dan umum dan juga akan memperluas tulisan mengenai dinar dirham di ISLAM HARI INI yang tidak hanya bersumber dari kelompok tertentu yang merasa paling benar.

  4. Karena nama saya disebut saya sedikit berkomentar: (1) Saya bukan seorang Maliki, sampai hari ini saya seorang Syafi’i. Meskipun saya sedikit, sangat sedikit belajar fiqh muqoron (fiqh perbandingan) prakteknya saya tetap Syafi’i dalam hal ‘ibadah maupun mu’amalah. Sholat saya mengikuti mayoritas Syafi’i. Saya memulai belajar fiqh Syafi’i dari At Tadzhib yang merupakan syarh atas Matan Ghoyah wa Taqrib (dikenal sbg Matan Abi Syuja’). Saya juga mengkaji kitab Fathul Qorib, I’anatuth Tholibien, Al-Muhadzdzab, dlsb. Dan Alhamdulillah diberi kesempatan untuk mendapatkan sanad kitab2 tersebut. Meskipun demikian saya bukan seorang faqih dan pandai, saya hanya belajar untuk praktek sendiri saja, setidaknya apa yang saya lakukan ada dasarnya. (2) Mengenai sunnah dan hadits tentulah sudah dipelajari perbedaan pemahamannya antara Madzhab Syafi’i dan madzhab2 lainnya. Madzhab Syafi’i mengutamakan adab. Pernah dikatakan bahwa التزام الأدب مُقدَّم على امتِثال الأمْر [adab didahulukan daripada mematuhi perintah Nabi]. Dalam sebagian ulama menjadikan ucapan tersebut qo’idah dalam fiqh. Dan ini berbeda dengan konsep Maliki dalam istinbath (3) Kutipan di atas sepenuhnya dari DR. Syaikh Yusuf Qordhowi dalam Kitabuz Zakah yang juga disertasi beliau. Kapasitas beliau diakui dunia, dan tidak ada keraguan daripadanya. Apabila saudara menolak pendapat beliau, saya kira keterangan dari Al Faqir sudah jelas bahwa ini sekedar referensi.

Leave a comment